De Javu


Sudah hampir 60 menit aku disini dan udara gunung semakin kejam saja menusuk-nusuk permukaan kulit ari ku tanpa ampun.

Aku sesering ini melihat orang-orang yang sulit berdamai dengan masa lalu nya. Hidup dengan fisik di masa kini, tapi hati, perasaan, bahkan fikiran masih terjebak di masa lalu nya. Seperti aku, kalian dan semua orang yang terlahir sulit untuk melupakan sesuatu.

Lampu-lampu pondok di pinggir tebing yang dalam mulai dihidupkan satu persatu. Berwarna-warni sesekali berkedip. Langit benar-benar gelap saat ini, dan sepertinya akan kembali turun hujan. Ya...hujan gunung akan datang lagi.

Dan entah mengapa disini selalu saja turun hujan tanpa memberikan kesempatan aliran darah ku leluasa memenuhi rongga paru-paru melesat kencang ke pipa-pipa mikro ke otak ku yang seperti terhipnotis akan semua hal yang sedang terjadi disini.

Pucuk-pucuk pinus yang basah. Butiran jernih air merembet sendu dari ujung daun lalu turun perlahan membasahi batangnya yang bergoyang diusik angin. Kulit-kulit pohon yang kering seperti berduka cita kegirangan. Lalu semuanya bertumpu menyatu dengan akar gambut dan berpencar menggenangi tanah yang lembab.

Aku adalah salah satu dari jutaan spesies makhluk disini yang sedang asyik menikmati semua pertunjukan harmoni ini tanpa sekalipun berhenti takjub melihat semua kelembutan dan kasih sayang yang luar biasa indahnya.

De javu dalam versi yang berbeda. Tanpa harus menafikkan semua hukum filsafat yang dibangun manusia selama jutaan tahun dalam fase-fase yang tak pernah sama.

Disini, sesosok makhluk berhati paling lembut pernah duduk tepat di sebelah ku. Menceritakan segala hal yang menarik dalam hidupnya, semua mimpi-mimpi nya. Dia seorang visioner tulen, yang mampu berfikir secara sistematis. Membangun konsep hidupnya yang paling indah tanpa menyia-nyiakan sedetikpun hela nafasnya untuk berfikir kesia-siaan.

Yang mampu tersenyum dalam semua kesusahan. Yang memberikan setitik air dingin di setiap kegerahan orang-orang di dekatnya.

De javu, dan semua ini seperti pernah terjadi dan terjadi lagi.

Nuansa Hujan di Penatapan

Hujan begitu lebatnya menyeringai seperti malas untuk berhenti, kabut putih menyelimuti seluruh sisi lereng bukit, jurang dan sendi sendi kehidupan yang bertengger di dedaunan hutan yang harmonis.

Segerombolan monyet gunung tampak kedinginan dibawah pepohonan yang rindang. Bulu-bulu halusnya basah kuyup oleh butiran hujan yang luar biasa dingin ini.

Seekor induk monyet gunung coba menghangatkan tubuh anak-anaknya dengan cara memeluk tubuh mereka dengan erat. Insting keibuannya bicara, dia harus berusaha menjaga suhu tubuh anak-anaknya agar tetap stabil, terlebih lagi suhu tubuhnya sendiri.

Aku yang duduk di pojokan sebuah bangku yang memanjang sampai ke ujung di lantai 2 sebuah bangunan berbentuk joglo. Posisi yang paling sempurna untuk menikmati itu semua ini pada level yang paling harmonis dari semua rasa nyaman di sekitar ku. Jurang yang dalam, nuansa pohon pinus dan sudut pandang yang menakjubkan.

Segelas teh susu hangat di kiri ku mulai diisi oleh percikan tetes embun seperti kristal yang terpercik dari dedaunan pinus yang hijau dan segar. Ternyata butiran air hujan telah berubah menjadi kristal-kristal es yang bening dan damai.

Bening sekali, sebening bola mata seorang bidadari yang selalu memancarkan kedamaian dari bola matanya yang bulat yang sedari tadi memandangku keheranan.

Aku masih belum bisa mengerti dari mana dia mendapatkan mata bulat nan indah itu lengkap dengan sorotan matanya yang damai. Atau mungkin.... ah sudahlah...

Dia mulai tersenyum dan aku menyerah, aku kedinginan, gila dan takjub lalu aku tersenyum getir sambil menutup kepala ku dengan jaket bulu yang tebal. Seketika aku pilek berat, sepertinya saat ini aku benar-benar kedinginan sekujur tubuh, kepala ku berkunang-kunang dan tulang-tulang ku seperti bergeretak kedinginan.

Aku menangkap aroma khas yang sedari tadi menggoda ku. Aku mengenal wangi ini, ya ini wangi bunga pinus, hmmm segarnya membuai hati sampai ke relung nya.

Suasana ini terlalu emosional untuk kita dan semua makhluk hidup disini. Dan dalam beberapa detik aku tiba-tiba merasa bahwa sebaiknya waktu berhenti berputar sampai disini saja dan kita semua bisa menikmati ini lebih lama lagi.

di De Pari Cafe Jalan Puri

Nyantai di Puri, mencari sesuatu yang tercecer di bilik - bilik jiwa

Helm Bersejarah (6 taon bro)

Helm hadiah dari abangnda, masih eksis ampe sekarang. Cuma diremajakan pake stiker motif koran doank...hehehe

Shanti Ririn Icha

Sibolangit : 10 Tahun Yang Lalu

By : MBL

~ ***** ~
10 Tahun yang lalu...
Suasana menjelang fajar di hutan Sibolangit...

Ditengah hutan sibolangit,gemericik suara air di sungai kecil yang biasa ku minum tanpa perlu dimasak....
Pucuk telingaku yang seketika beku oleh dinginnya butiran embun yang jatuh dari pohon pinus yang beraroma khas...
Hmmm...aroma pinus itu memang selalu terasa khas di hidungku kemanapun aku pergi sampai sekarang...

Butiran-butiran serbuk kopi hitam didalam sebuah cangkir kaleng sisa keceriaan tadi malam,2 cangkir kopi kulihat telah tumpah membasahi tanah hutan yang dingin....
berserakan diatas tikar pandan yang mulai dibasahi oleh embun pagi yang dinginnya menusuk tulang...

Bungkus-bungkus mie instant yang hampir habis terbakar di sekitar api unggun yang hanya tinggal menyisakan asap seadanya...
Kaleng-kaleng sarden yang berserakan...

Gitar kapok yang lembab dengan senar-senarnya yang mengendur terpojok didekat api unggun disebelah tumpukan bahan-bahan pangan...
Minyak makan yang membeku seperti keju...
Butir-butir garam dan gula yang berserakan di tanah yang lembab...

Kartu-kartu domino yang berserakan diatas tikar,sebagian ujungnya menghitam terbakar rokok dan sebagian lainnya tertindih oleh tubuh-tubuh muda yang benar-benar mengantuk....

Suara-suara binatang hutan yang saling bersahutan...
Gemericik suara sungai mengalir membelah batu-batu sungai dingin yang menghijau dipenuhi jamur....

Ransel-ransel kosong itu...
Pakaian-pakaian kotor berserakan yang dijemur diatas dipan-dipan ranting kayu itu...
Api unggun yang redup menyisakan asap itu...

Jiwa-jiwa muda yang lelah tertidur itu...
Jiwa-jiwa yang menerobos hati dengan empati murni tanpa harus diisi dengan tendensi apapun...
Jiwa-jiwa yang hanya masih mengharapkan sedikit keceriaan sebelum melompat dan terjatuh nantinya...
Jiwa-jiwa yang belum terpisahkan oleh ancaman tuntutan hidup,tanggung jawab sebagai suami dan seorang ayah...
Jiwa-jiwa yang belum terkontaminasi oleh keangkuhan membangun imej dan segala bentuk kesombongan sifat pemujaan faham-faham kebendaan,pangkat,jabatan dan harta...

Aku bosan dengan segala bentuk Hipokritas sosial...
~ ***** ~

-Medan Kota -
Jum'at siang 28 Desember 2012
Pukul 13 : 10 Wib

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Blogroll

Blog Archive

Blogger templates

Blogger news